Selasa, 04 Mei 2010

Kenapa Kita Menulis ?

“Lebih banyak pelaku bisnis yang gagal daripada seniman yang gagal.”

(John Gardner dalam On Becoming A Novelist)

Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Inilah software dalam diri kita yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau ending. Untuk apakah kita menulis? Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (trauma healing)?

Dalam konteks trauma healing, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang dalam novel The Al Chemist menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekuatiran akan sirna.

John Gardner dalam The Art of Fiction mengatakan,”Kebanyakan orang yang saya ketahui ingin menjadi pengarang, dengan mengetahui apa artinya hal itu, akhirnya menjadi pengarang. Hal yang perlu dimiliki oleh para pengarang pemula adalah memahami dengan jelas apa yang sebenarnya mereka inginkan dan apa yang harus mereka lakukan untuk bisa menjadi orang yang mereka inginkan itu.”

Habiburrahman Syaerozy, contohnya. Dengan sebuah niatan memperbaiki akhlak bangsa melalui tulisan, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Kairo ini tergugah untuk menghasilkan karya sastra yang menghibur dan mencerahkan. Alhasil, meluncurlah dari guratan tangannya Ayat-Ayat Cinta—novel yang laris secara fenomenal dan diangkat ke layar lebar—maupun Di Atas Sajadah Cinta, yang kemudian diangkat menjadi sebuah sinetron rating atas di sebuah TV swasta. Termasuk beberapa buku bernada serupa. Yang paling anyar adalah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih yang diluncurkan pada Milad ke-10 FLP akhir Februari lalu dan langsung dua kali cetak ulang dalam 1 bulan!

Menulislah, pesan Helvy Tiana Rosa—sastrawan angkatan 2000 versi Korie Layun Rampan dan peraih penghargaan Adikarya IKAPI—karena selain baik bagi kesehatan mental dan menghasilkan uang, menulis juga memungkinkan kita saling memperkaya ide, berbagi rasa dan pengalaman serta mengeksplorasi langit imajinasi tanpa batas.

Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? Bukankah William Shakespeare juga mulai menulis karena keterpepetan ekonomi? Sah-sah saja tentunya. Namun sudah siapkah kita dengan segudang kesabaran dan kekuatan hati atas segala penolakan terhadap karya kita? Umumnya seiring ekspektasi berlebih—karena memang terkait dengan kebutuhan perut—penolakan pun kadang berlebih sesuai kadar ekspektasi tersebut.

Kawan-kawan penulis—yang banyak saya temui–yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi pun umumnya banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan. Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan redaksi media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa–seperti wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra–menulis adalah memberi.

Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual—termasuk ‘menjual’ tulisan–adalah melayani dan memberi. Keikhlasan melayani atau memberi terhadap kebutuhan konsumen justru akan menimbulkan market demand dalam bentuk repeat order (order yang berulang). Kelimpahan materi adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap diabaikan para penulis yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.

Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo—salah satu sastrawan favorit saya—dan hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah seikhlas meludah atau buang hajat.

Seorang Habiburrahman Syaerozy juga tak menyangka jika Ayat-Ayat Cinta—yang royaltinya untuk infaq pesantren–akan laris manis hingga dicetak ulang berkali-kali dalam waktu singkat. JK Rowling yang hanya seorang guru miskin di Inggris pun tak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia padahal semula ia hanya menuliskan khayalan masa kecilnya.

Dalam bahasa (alm) KH Abdullah Syafi’ie, seorang ulama kharismatik Betawi era 70an,”Nanem padi rumput ikut; nanem rumput padi luput.” Tujuan yang lebih dari “sekadar” materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan popularitas.

Kutipan perkataan John Gardner di atas pun sebenarnya tak terhenti di situ saja. Ada kalimat pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, “Walaupun demikian, dalam sekolah bisnis, optimismelah yang selalu berjaya.”

Ya, optimismelah—selain motivasi–yang juga membedakan ketangguhan seseorang, termasuk seorang penulis. Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa?

*tulisan ini dimuat di majalah SABILI pada 2008.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

numpang komen ya.. setuju banget sama soal motivasi. ketekunan juga penting, karna saya jarang nulis cerpen sampai selesai, yang saya tulis sampai selesai biasanya postingan di blog hehehe.

trims abang, tulisan yang bagus..