Minggu, 29 Januari 2012

Jelajah Sepeda Lima Kecamatan ( Fajar Gorup dan ECC) Bagian Ketiga.

Ekspedisi Nekat, Menggapai Prestise dan Kebanggaan.

Ahmad Yunus dan Farid Gaban, dua orang jurnalis pernah mengelilingi wilayah-wilayah terpencil di Indonesia dengan sepeda motor. Penjelajahan itu mereka namakan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Catatan perjalanan mereka ditulis Yunus dan melahirkan buku " Meraba Indonesia, Ekspedisi "Gila" keliling Indonesia".

Dalam pengantar bukunya, yunus mengatakan banyak orang yang ingin mengenal Indonesia. Ia yakin, ia tidak sendirian. Banyak orang yang memiliki perasaan yang sama dengannya. " Nusantara akan melekat dalam benak orang yang pernah dan punya pengalaman berkeliling Indonesia. "Sungguh saya beruntung melihat indonesia dari dekat dan meleburkan khayalan tentangnya," kata yunus dalam bukunya.

Buku Meraba Indonesia memberikan inspirasi bagi kami melibas Lima Kecamatan di Enrekang. Enrekang memiliki 12 Kecamatan. Dalam Ekspedisi jelajah sepeda ini kami hanya memilih lima Kecamatan yakni Enrekang, Anggeraja, Baraka, Bungin dan Maiwa.

Kenapa Harus Sepeda ?. Sidik Manggala (wartawan Fajar) mengatakan sepeda saat ini lagi trend di Enrekang. " Kenapa tidak sekalian kita buat sesuatu dengan sepeda," kata Sidik.

Sudah banyak orang yang berkeliling Nusantara dengan sepeda. Tapi mungkin baru kami yang melakukan ini di Enrekang. Ada kebanggaan dan prestise tersendiri yang dirasakan Tim Jelajah dalam Ekspedisi nekat ini.

" Ada cerita yang bisa disimpan untuk anak cucuku nanti," kata Andi, salah satu anggota Tim dari ECC.

Dan kenekatan kami ini sudah kami buktikan melewati jalur Enrekang-Baraka sepanjang 30 Kilometer di hari pertama, Baraka-Bungin sepanjang 40 kilo meter di hari kedua. Hari ketiga perjalanan dilanjutkan ke Dusun Nating, Desa Sawitto, yang masih dalam wilayah Kecamatan Bungin dengan jalur yang menanjak menyusuri tiga gunung dengan jarak 10 Kilometer. Perjalan nekat ini sudah kami tempuh sepanjang 90 kilometer.

Camat Bungin A. Fadli Hakim masih tidak bisa percaya kalau Tim Jelajah Sepeda Lima Kecamatan (Fajar Group dan ECC) bisa menembus Bungin dengan Sepeda. Apalagi mau melanjutkan perjalanan menuju Dusun Nating yang jauh diatas gunung.

" Saya masih tidak bisa percaya, teman-teman datang kesini dengan sepeda," kata Fadli geleng-geleng kepala.

Hari ketiga Tim jelajah sepeda melanjutkan perjalanan menuju Dusun Nating. Nating memberikan daya tarik tersendiri bagi Tim jelajah sepeda. Nating selama ini dikenal sebagai daerah penghasil kopi arabika. Nating berada di atas ketinggian 1400 dpl.

Di Nating, kami ingin melihat langsung pohon kopi yang usianya sudah ratusan tahun. Menurut kabar yang kami dapat sebelumnya, pohon kopi itu besarnya seperti pelukan tiga orang yang berpegangan membentuk lingkaran. " Besar sekali kan," kata saya memanas-manasi sidik.

Jalur menuju Nating menanjak terus. Jalannya sempit, hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Sisi-sisi jalannya banyak jurang yang menganga. Lengah sedikit bisa terpental kedalamnya. Kami melawati kebun-kebun warga. Jalan yang terus menanjak membuat kami banyak mendorong. Syaifullah Panama (Om Iful) mengistilahkan TTB (Tuntun Terus dengan Baik)

Ditengah perjalanan, ban sepeda Firman Agam (Immang) bocor. Jalur sudah kami lalui dua jam lamanya. Untung sudah ada persiapan ban yang dibawa. Saat ban diganti, Daus (40), salah satu warga Nating yang baru pulang menjual Cabe dari Baraka menghampiri kami. Ia tidak percaya kalau kami ingin ke Kampungnya. " Mau terus naik dengan sepeda ?" tanyanya dengan nada heran.

Perjalanan Nating adalah perjalanan yang mengesankan sekali. Haus dan lapar mendera tim dalam perjalanan. Sepertinya Nating selalu menjauh dari kami. Setiap kali bertemu warga yang berjalan kaki atau yang naik motor, kami pasti selalu bertanya. Dan Jawabannya selalu sama, sudah dekat, tinggal beberapa kilo lagi. Tapi Nating tidak juga muncul-muncul.

Akhirnya, setelah lima jam mendaki dengan sepeda, kami pun tiba disambut Hujan. Dingin yang pelan menyerang tubuh mendapat kehangatan kopi Nating. Kamaruddin (40) tuan rumah yang ramah menyuguhkan kami Kopi asli yang cukup terkenal itu.

" Kaya mimpi kami bisa liat orang datang kesini dengan sepeda. Orang naik motor saja jarang," kata Kamaruddin.

Arabika. Itulah yang membuat kami ingin mendaki ke Nating. Dusun Nating, berbatasan langsung dengan Luwu. Menurut Kamaruddin, di Nating ada sekitar 100 ribu pohon pohon kopi.
" Disini ada dua kelompok Petani Kopi dengan jumlah anggota sekitar 25 orang, setiap orang punya pohon kopi sekitar 2000 pohon" kata Kamaruddin, bapak tiga anak.

Kamaruddin mengatakan, kendala yang dihadapi petani di Nating adalah persoalan pupuk. Angkutan dan harga pupuk mahal. Pupuk sampai Nating sekirar ratusan. " Padahal di kota kecamatan cuma 70 ribu," kata Kamaruddin.

Di Nating, Pemerintah menyiapkan lahan 30 hektar untuk peremajaan kopi arabika typica. Kopi jenis ini pernah melegenda karena cita rasa dan aromanya. Pemerintah menyediakan 80 ribu bibit untuk peremajaan dan dikelola kelompok tani riwang.

Kami penasaran dengan Cerita Pohon kopi besar. Menurut Kamruddin, pohon kopi itu ada di kampung Pujappo dusun Katabi yang berbatasan dengan Dusun Nating. " Tapi batangnya cuma sebesar paha orang dewasa, umurnya kurang lebih 20 tahun," kata Kamaruddin bercerita.

Ternyata, pohon kopi tua itu hanya sebesar paha, bukan seperti yang kami bayangkan sebelumnya, sebesar pelukan tiga orang dewasa yang berpegangan. Kami, tidak sempat melihat pohon itu. Tempatnya jauh diujung lembah. Kami hanya bisa membayangkjan saja bagaimana besarnya pohon kopi yang sudah tidak berbuah itu.

Matahari pagi sudah menyinari Nating saat kami sudah siap meninggalkan Kampung yang memberi kesan. Anak-anak sekolah SDK Nating sudah memenuhi jalan-jalan setapak. Mereka kebanyakan tak memakai sepatu. Ada juga yang hanya pakai sendal.

Tahun 2007 Nating tadinya mau di relokasi ke daerah kampung baru. Namun warga menolak. " kalo kami pindah kesana tidak ada yang urus kopi. Disana kami tidak bisa berbuat apa-apa, padahala kami mau makan," kata Kamaruddin.

Hangat matahari masih terasa saat kami tinggalkan Nating. Jalan terjal yang terus menurun justru membuat nyali kami terpacu. Dua jam kurang, kami sudah sampai di Ibukota Kecamatan Bungin. Tim rehat sejenak. Usai sholat dhuhur Tim melanjutkan perjalanan menuju Desa Tapong.

(Bersambung)

Tidak ada komentar: