Sabtu, 27 Agustus 2011

KENDENAN, PULU MANDOTI DAN KAMPUNG LANDA (1)



Fajar sudah hampir menyingsing saat kami menikmati pemandangan nan eksotik di Desa Salukanan dan Desa Kendenan. Badan yang capek menelusuri perjalanan dari Enrekang menuju Desa Kendenan yang jaraknya puluhan kilometer itu terobati dengan keindahan pemandangan sawah yang hijau dan kekuning-kuningan.

Laporan : Naim Muhammad.

" Terima Kasih sudah mengajak saya kesini," kata Amoy, Penggiat Teater Galeri Macca yang ikut bersama kami. Sebagai orang Enrekang, Amoi baru melihat pemandangan yang sangat ciamik dipandang mata. Tak henti-hentinya ia meminta untuk di Foto dengan latar belakang Sawah.

Sawah yang menghijau itu adalah Sawah yang ditanami Padi Pulu (Ketan) Mandoti. Pulu Mandoti adalah Padi khas yang jika dimasak mengeluarkan aroma wangi. Saking wanginya, harumnya merambah ke tetangga hingga tiga rumah dari tempat kita masak. dan hanya di Desa Salukanan dan Desa Kendenan, Padi seperti ini bisa tumbuh.

Kepala Desa Kendenan Bakri Puttung yang rumahnya kami tempati menginap mengatakan, Desa Salukan dan Desa Kendenan diberkahi sehingga hanya di Sinilah padi itu bisa tumbuh.

" Pulu Mandoti adalah wangsit yang didapatkan dari Ilahi, karena hanya disinilah padi itu bisa tumbuh, dan Kami percaya itu, " kata Bakri.

Bakri menceritakan, Kendenan berarti persinggahan. Diambil dari asal kata Kende yang artinya singgah.

" Menurut cerita orang dulu, disini ada batu yang dipercaya menjadi tempat persinggahan nenek moyang kami yang pertama," kata bakri.

Bakri percaya, nenek moyang mereka itulah yang pertama membawa benih padi pulu mandoti. " Pulu mandoti ini sudah ada sejak dahulu kala," kata bakri.

Aroma Pulu Mandoti, kata bakri, pernah membuat Presiden Kedua RI, Soeharto terkesima. Karena aromanya itu, Sejak tahun 1986, saat era soeharto, beras Pulu Mandoti selalu menjadi Sajian di Pesta Kenegaraan.

Peritiwa yang membuat Soeharto kesemsem dengan Pulu Mandoti itu terjadi sekitar tahun 1986 saat salah satu anak soeharto menkah. Saat itu, ada warga yang bekerja di perusahaan anak soeharto yang membawa Pulu Mandoti. Saat disuguhkan, Soeharto mencium aroma ada aroma yang khas dalam sajian makanan. Ia menanyakan asal beras itu.

Mengetahui, asal beras pulu mandoti itu dari Kendenan, Soeharto memberikan bantuan 20 Sak semen untuk memperbaiki irigasi di Desa Kendenan. " Sebagai imbalan sawah disini bisa teriri dengan dan beras bisa selalu hadir saat ada pesta di istana," kata Bakri.

Kendenan, rupanya tidak hanya menyimpan cerita tentang Pulu Mandoti saja. Selain itu, di Kendenan tenyata ada perkampungan Landa, dimana di sana ada terbangun67 bangunan Landa. Yang menariknya, di Landa-Landa itu ada Padi yang tersimpan hingga Ratusan Tahun Lamanya.

Landa adalah lumbung tempat penyimpanan beras. Umumnya Beras yang disimpan disana adalah beras Pulu Mandoti. Ada Juga Beras Lambau. Lambau ini semacam beras ketan namun warnanya putih. Beras ini biasa dicampur dengan Pulu Mandoti saat dimasak agar Mandoti saat dimakan tidak terlalu liat.

" Walaupun tersimpan lama, beras itu tidak rusak, malah beras itu makanan yang sangat cocok bagi orang yang punya penyakit kolesterol,karena semakin tersimpan lama, kadar gula dalam beras itu semakin rendah " kata bakri.
Selengkapnya...

Sabtu, 30 April 2011

Nl WAYAN MERTAYANI AYAM DAN MIMPI JADI WARTAWATI


Dengan langkah malu-malu, Ni Wayan Merta-yani, 14 tahun, menemui sejumlah wartawan di Radio Netherlands Training Centre di Hilversum, Belanda, Kamis pekan lalu. Dia hanya mengenakan jumper- jaket tipis bertutup kepala-berwarna abu-abu, kaus oblong, dan sepatu kets. Matanya langsung berbinar melihat para kuli tinta menyingkirkan udara dan angin dingin yang berembus kencang menggigit kulit. Maklum, Wayan amat terobsesi menjadi wartawati.

Buku The Diary of Anne Frank, tentang Annelies Marie FVank alias Anne Frank, menginspirasinya untuk rae-matri cita-cita terse-but Dolly Amarhosoija, tuns asal Belanda. adalah orang yang memperkenalkan gadis asal Ban-iar Biasiantang, Desa Purwakerti. Kecamatan Abang. Karangasem, itu dengan sosok Anne yang menjadi korban Holocaust di Amsterdam, Belanda.

Tak cuma buku, Wayan juga meminjam kamera foto milik Dolly. Dia membuat 15 foto dengan kamera itu. Jepretan terakhirnya adalah sebuah potret pohon ubi karet denganda -han tanpa daun yang tumbuh di depan rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.

Tak dinyana, foto sederhana itu memikat 12 fotografer kelas dunia dari World Press Photo yang menjadi juri lomba foto internasional 2009, yang digelar Yayasan Anne Frank di Belanda. Tema lomba yang yang diikuti 200 peserta itu adalah “Apa Harapan Ter-besarmu?” Wayan menjelaskan, ayam itu simbolisasi diri dan kehidupannya. “Ayam itu kalau panas kepanasan, hujan kehu-janan. Sama seperti saya,” ujarnya.

Sulung dari dua bersaudara ini memang berasal dari keluarga miskin. Ibunya, I Nengah Kirem, 52 tahun, sudah bertahun menderita ginjal dan ha-rus bekerja serabutan. Ayah Wayan telah meninggal. Mereka tinggal di gubuk berdinding bilik bambu dengan satu kamar tidur.

Untuk menopang kehidupan, tiap sore hingga gelap menyergap, pelajar kelas HI SMP Negeri 2 Abang, Karangasem, itu berjualan kue jajanan di Pantai Kadang. Jika dagangannya laku, dia bisa memperoleh pendapatan hingga Rp 50 ribu. Tapi lebih sering dia rugi karena banyak yang tidak bayar. “Atau kalau tak habis saya makan sendiri, jadi ya rugi,” ujar Wayan tersipu.

Dia mengaku punya puluhan ayam dan bebek serta beberapa ekor kambing. Ayam-ayamnya pun dibiarkan berkeliaran tak dikandangkan. Terkadang Wayan harus menyabit rumput untuk memben makan kambingnya sebelum berjualan. Namun, di sela kehidupan keras yang dilaluinya, Wayan biasa meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik Marie Johana Fardan, tetangganya yang warga Belanda pemilik vila Sinar Cinta di Pantai Amed.

“Sudah dua tahun dia menjadi langganan tetap perpustakaan. Dia menyukai buku Anne Frank itu,” ujar Marie, yang mengantar Wayan dan adiknya, Ni Nengah Jati, terbang ke Belanda.

Negeri Kincir Angin menjadi tempat pertama Wayan mengenal dunia di luar Bah. Wayan mengaku .senang bisa menjejakkan kaki di Belanda, yang menurut dia bersih, ramai, meski cuacanya kurang bersahabat. “Senang tapi makanannya tidak enak, mentah-mentah. Lebih enak jajanan saya,” ujarnya disambut tawa hadirin.

Dari Yayasan Anne Frank, Wayan menerima hadiah berupa kamera saku dan sebuah komputer jinjing dari Radio Netherlands Wereldomroep. Rencananya, jika Yayasan Anne Frank mengadakan acara di Bali, dia akan diundang untuk memamerkan foto-fotonya. Radio Netherlands juga menawarkan tempat untuk Wayan mengirim cerita pendek atau tulisan-tulisannya untuk disiarkan.

Wayan berharap bisa menyelesaikan sekolah dan mewujudkan cita-citanya menjadi jumalis. Sepulangnya dari Belanda, ia mendapat kabar gembira berupa kelulusannya dari ujian nasional. “Saya ingin membahagiakan ibu saya,” ujarnya sendu. Matanya bulat menerawang. Dia sangat sadar kemiskinan mengancam kelanjutan pendidikannya. “Anne Frank lebih susah hidupnya. Jika dia tak mengeluh, saya juga seharusnya tidak,” ujarnya kemudian.

Sumber: http://bataviase.co.id/node/213068
Selengkapnya...

Ni Wayan Mertayani – Profil Anak Pemulung Berprestasi Dunia


Mimpi. Setiap orang bisa melakukannya. Tapi hanya orang-orang yang berani mewujudkannyalah yang mampu meraih mimpinya itu.

Sudah banyak cerita. Sudah banyak inspriasi. Sebutlah Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya, A. fuadi dengan Negeri 5 Menaranya. Dua orang yang tidak pernah bosan menekankan kalimat mimpi itu. " Beranilah bermimpi, dan beranilah mewujudkan mimpimu "

Namun satu lagi, orang yang sangat inspiratif dan penuh semangat, yakni Ni Wayan Mertayani, seorang anak pemulung yang tak menyangka bisa meraih penghargaan pemenang lomba foto tingkat internasional di Belanda.

Ini sedikit kisahnya. Berharap dengan ini, akan muncul juga kisah inspiratif dari negeri Massenrempulu. Kenapa Tidak ? Siapa berani Bermimpi ?

ikuti kisah Ni Wayan...

Ni Wayan Mertayani: Gadis Pemulung dari Bali, Menang Lomba Foto Internasional Museum Anne Frank

Alur hidup Mertayani bisa dikatakan hampir mirip Anne Frank. Sama-sama hidup dalam tekanan, tapi penuh harapan dan cita-cita. Dan, ternyata Mertayani pun mengagumi Anne Frank setelah membaca bukunya yang sesungguhnya sebuah diary.

Ada kemiripan hidup antara Mertayani dan Anne Frank. Sama-sama ditekan dalam sebuah kondisi yang begitu menyulitkan. Bedanya, Anne yang keturunan Yahudi besar di bawah tekanan tentara Nazi pada masa itu, sementara Mertayani besar di bawah tekanan ekonomi.

Kondisi ekonomi yang sangat sulit memaksa Mertayani harus dewasa di usianya yang masih 14 tahun. Sehari-harinya, Mertayani membantu ibunya berjualan asongan di pinggir pantai selain menjalani tugas belajar sebagai siswi di SMPN 2 Abang. Kadangkala, dia ikut mencari barang rongsokan di tepi pantai.

Mertayani merupakan putri sulung almarhum I Nengah Sangkrib dan Ni Nengah Sirem. Sejak ayahnya meninggal, Mertayani tinggal bersama ibunya Ni Nengah Sirem dan adiknya Ni Made Jati. Sejak itu pula, tiga wanita ini berjuang untuk melanjutkan hidupnya dari hari ke hari dengan berjualan atau mencari barang rongsokan.

Aktivitas ini sama sekali tak pernah terbersit dalam benak Mertayani untuk dilakoni. Namun ketabahan ibunya dalam menjalani itu semua membuat Mertayani cuek terhadap cibiran di sekelilingnya. Dan, siapa menyangka, dari aktivitas mengasong dan mencari barang rongsokan, Mertayani justru kenal dengan para wisatawan. Termasuk Mrs Dolly Amarhoseija yang meminjamkan kamera digital serta mengajarkan Mertayani cara membidikannya.

Mertayani sendiri mengaku kagum dengan sosok Anne Frank. Sosok belia ini penuh dengan harapan dan cita-cita meski kenyataannya hidup dibawah tekanan. “Saya mulai mengaguminya (Anne Frank,Red) sejak membaca buku-bukunya,” kata Mertayani.

Dari bacaan itu juga, Mertayani seperti mendapat sokongan semangat bahwa hidup itu memang harus dijalani. Suka duka harus diarungi tanpa harus menanggalkan cita-cita atau harapan. Soal cita-cita, Mertayani sendiri mengaku hendak menjadi wartawan.

Apa yang dialami Mertayani itu ternyata tak berlebihan. Ibunya, Ni Nengah Sirem menuturkan bagaimana pedihnya membesarkan Mertayani dan adiknya, Ni Made Jati. Saat menerima kenyataan bahwa harus ditinggalkan suaminya, Ni Nengah Sirem harus berjuang seorang diri membesar dua putrinya.

Pernah sekali waktu, saat dirinya mencari rongsokan, Sirem dikerjai. Ceritanya, saat itu dirinya sedang sibuk mencari barang rongsokan di tepi pantai. Kemudian, ada seseorang mengatakan bahwa ada tempat yang banyak terdapat barang rongsokannya. Mendengar itu, Sirem langsung bergegas ke tempat tersebut. Tak dinyana, sesampainya di sana bukannya barang rongsokan yang ditemuinya, melainkan bangkai anjing. “Saya cuma bisa bersabar saja,” kata Sirem saat mendampingi Mertayani.

Meski hidup serbakekurangan, ada satu hal yang selalu diajarkan Sirem kepada dua orang puterinya yakni keikhlasan. Karena itulah rumah Mertayani kerap didatangi para wisatawan. Bahkan, sampai ada yang menginap dan Sirem harus menyediakan makanan dengan memotong beberapa ekor ayam peliharaannya.

”Tempo hari ada tamu cewek-cewek dari Italia. Mereka menginap di sini. Mereka nggak keberatan tidur di atas bale. Karena tempat tidur yang kami punya memang hanya itu saja,” pungkas Sirem.

Dengan prestasi yang diperoleh Mertayani, Sirem kini tambah semangat. Apa yang dia yakini dan lakukan selama ini ternyata tidak sia-sia. Dia pun berharap, anaknya itu bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya.

Sumber: http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=5411
Selengkapnya...

Kamis, 13 Januari 2011

Sepeda

Sudah lama aku memimpikan punya sepeda. Setiap kali melihat orang pakai sepeda, setiap kali itu pula mimpi itu datang. Apalagi jika melihat profil salah satu wartawan idolaku, Wisnu Nugroho yang setia dengan sepeda lipatnya, rasa iri itu muncul. Selalu aku bilang sama teman, suatu saat pasti aku akan punya sepeda.

Saat nonton KIck andy edisi : kami ada, kami beda, yang mengangkat komunitas yang berkembang di Jogja. Dalam edisi itu salah satu Komunitas yang dibahas adalah komunitas sepeda tinggi.

Di Yogyakarta, komunitas “pit dhuwur” selalu mencuri perhatian dan menjadi pemandangan yang unik di jalan-jalan kota. Komunitas ini berawal dari kedatangan sekelompok sirkus bernama Cyclown Circus. Kelompok sirkus tersebut merupakan gabungan pemain sirkus dari beberapa negara, seperti: Italia, Brazil, Argentina, Amerika, dll. Cyclown Circus mengadakan pertunjukkan di Yogyakarta akhir 2006 lalu. Saat itu salah satu seniman sirkus asal Italia, Pierro - membarter sepeda tinggi hasil rakitannya dengan tattoo karya Dhomas Yudhistira a.k.a Kampret, seniman tattoo asal Yogyakarta. Pierro juga mengajarkan bagaimana membangun sepeda tersebut dengan ’mengawinkan’ dua kerangka sepeda yang tidak terpakai yang kemudian dirangkai dengan rongsokan besi. Kehadiran komunitas sepeda tinggi ini sekaligus juga memiliki semangat untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan dengan memanfaatkan limbah atau rongsokan tersebut menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat.

Seperti kena setrum, tiba-tiba ide untuk memiliki sepeda tak terbendung. Aku ingat, rongsokan sepeda di rumahku masih ada tersimpan di gudang. Setelah bongkar sana, bongkar sini, aku akhirnya dapat dua batang sepeda. Sepeda Tinggi pun akhirnya aku rancang.

Ide buat sepeda pun diikuti dua teman lainnya, bedanya, jika aku buat sepeda tinggi, mereka malah merancang sepeda lowrider versi otak mereka.

Sejak membuat sepeda itu, banyak kerjaan yang terbengkalai. Ide untuk segera merealisasikan wujud sepeda itu terlalu menggebu-gebu. Besi terus dikumpulkan, alat-alat tambahan pun dicari, dana sedikit demi sedikit mulai terkuras.

Akhirnya setelah empat hari berkutat dengan besi dan las bersama Om "Papua" si tukang las, sepeda tinggi dan dua sepeda lowrider ala temanku pun jadi dan bisa jalan. Ya, akhirnya, mimpi untuk jalan keliling kota dengan sepeda sudah terwujud.
Selengkapnya...

Sabtu, 08 Januari 2011

Enrekang Titik Nol Kilometer.

Jika merujuk dengan kota-kota besar di Pulau jawa, atau kota besar lainnya, Titik Nol sebuah kota biasanya ditandai oleh sebuah nama yang biasanya di sebut alun-alun kota. Sebutlah misalnya, Alun-alun Kota Jogja dan Alun-Alun kota Bandung. Dan jika merujuk Kota Makassar, titik nol tertambat di Karebosi.

Roda pembangunan atau roda ekonomi biasanya mulai tumbuh dan bergerak dari arah titik nol kilometer dari sebuah kota.

Dimanakah titik Nol Enrekang ? Anda ada yang tahu ? Dapatkah Taman Bermain disebut sebagai tanda Titik Nol Enrekang ?

Pusat pemerintahan pertama di Enrekang berada disekitar Taman Bermain. Tanah bangunan Bank BPD yang ada saat ini adalah lokasi Kantor Pemerintahan Belanda dan Pusat Pemerintahan pertama.

Lokasi Taman Bermain saat ini dahulunya juga adalah Pasar pertama di Enrekang. Sisa-sisa kios masih ada yang berdiri walaupun ada yang sudah berubah jadi bangunan tinggi. sebelum taman bermain itu dibangun, disitu, lokasi itu adalah bekas cek point bagi mobil bus antar kabupaten khususnya Bus Toraja.

Kantor Pusat pemerintahan akhirnya berpindah ke Buttu Juppandang kemudian berpindah ke jalan jendral Sudirman, atau di Enrekang disebut daerah Pinang. Sebelumnya, Pinang adalah daerah yang berhutan, kini disana sudah terbangun perumahan pertama yang terbangun di Enrekang. Kantor Bupati yang baru pun sudah berdiri disana yang difungsikan sejak 2009 lalu.

Pusat perekonomian pun berpindah dari lokasi sekitar taman bermain ke Wilayah tengah kota Enrekang yang kemudian berpindah lagi berhadapan dengan Kantor camat Enrekang.

Sungguh di Kota Enrekang saat ini bolehlah dikata pembangunan mulai menampakkan diri. Bangunan rumah tinggi yang bermunculan dengan tipe kekota-kotaan alias modern mulai terlihat. Entah siapa yang memulai, yang jelas bangunan rumah yang muncul itu tak jauhlah tipe-tipenya.

Mini Market, Toko Grosiran kelas mini market, Lampu merah pun menjadi penanda Enrekang beranjak menjadi Kota.

Dua Sekolah Kebidanan pun sudah berdiri. Begitupun Perguruan Tinggi Pertanian baru-baru ini sudah menerima mahasiswa angkatan pertama.

Enrekang yang menopangkan hidupnya dari sisi pertanian saat ini terus berbenah menjadi Kota yang mampu mensejajarkan diri dengan kota-kota lainnya di Jazirah Sulsel.
Selengkapnya...